BAB II
PEMBAHASAN
1.
Berbagai Teori
Belajar dan Pembelajaran
Belajar
sering kali diartikan sebagai salah satu proses perubahan tingkah laku pada
diri seseorang menuju ke arah yang lebih baik jika dikondisikan dengan benar.
Seperti yang dikemukakan oleh Hilgard “learning is the process by wich an
activity originated or is changed through training
procedures (weather in the laboratory or in the natural environment) is
distinguised from changed by factors not attributable to training”1.
Dari definisi tersebut diperlukan belajar dan pembelajaran untuk memahami
tingkah laku setiap manusia yang berbeda. Maka, terdapat beberapa teori-teori
dalam belajar dan pembelajaran yang dapat menjelaskannya. Teori-teori tersebut
,yaitu:
A.
Teori belajar
Kognitif
a)
Teori Gestalt
Menurut
teori Gestalt, belajar adalah proses mengembangkan insight yang
merupakan pemahaman terhadap hubungan antar bagian didalam suatu situasi
permasalahan. Inti dari teori Gestalt adalah insight itu sendiri yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
·
“kemapuan insight
seseorang tergantung kepada kemampuan dasar orang tersebut sedangkan kemampuan
dasar itu tergantung pada usia dan posisi yang bersangkutan dalam kelompok
spesiesnya
·
Insight dipengaruhi atau tergantung kepada pengalaan masa lalu yang relevan
·
Insight
tergantung kepada pengaturan dan penyediaan lingkungannya
·
Pengertian
mrupakan mimpi dari insight. Melalui pengertian individu akan memecahkan
persoalan. Pengertian itulah yang dapat menjadi kendaraan dalam memecahkan
persoalan lain pada situasi yang berlainan.
·
Apabila insight
telah diperoleh,maka dapat digunakan untuk menghadapi persoalan dalam situasi
lain.”2
Contoh dari pengembangan insight diuji pada seekor simpanse yang
dimasukkan ke dalam jeruji yang terdapat sebuah tongkat. Lalu diletakkan sebuah
pisang di luar jeruji tersebut. Beberapa saat kemudian simpanse dapat mengambil
pisang yang terdapat di luar jeruji dengan menggunakan tongkat tersebut. Hal
itu dikarenakan, simpanse mampu mengembangkan insight.
b)
Teori belajar
Konstruktif
Menurut teori
konstruktivistik, belajar merupakan proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman,
bukan hanya sekedar menghafal. Pengetahuan merupakan sebuah hasil dari proses
mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu, bukan hanya suatu pemberian atau
pemberitahuan dari guru saja.
Pengetahuan
adalah hasil dari pemberitahuan yang biasanya tidak akan menjadi pengetahuan
yang bermakna. Piaget adalah tokoh yang mengembangkan teori belajar
konstruktivisme, ia menjelaskan bahwa sejak kecil setiap anak sudah memiliki
struktur kognitif yang dinamakan skema. Pengalamanlah yang akan membentuk skema
anak tersebut. Contoh dari teori belajar konstruktif ini adalah ketika anak
senang bermain dengan kucing dan kelinci yang memiliki warna bulu sama yaitu
putih. Karena seringnya anak bermain dengan hewan itu akibatnya ia dapat
menangkap perbedaan antara keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat sedangkan
kelinci berkaki dua. Pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk
skema tentang binatang berkaki dua dan binatang berkaki empat. Setelah anak
menjadi dewasa, maka semakin sempurnalah skema yang dimilikinya.
Proses
penyempurnaan skema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi
adalah proses penyempurnaan skema sedangkan akomodasi adalah proses mengubah
skema yang sudah ada hingga terbentuk skema yang baru. Asimilasi dan akomodasi
terbentuk dari pengalaman siswa.
Seorang
anak akan mampu menyusun skema baru jika ia dihadapkan pada posisi ketidakseimbangan
(disequalibrium), yang akan mengganggu psikologis anak. Apabila anak telah
berhasil membentuk skema baru maka anak akan kembali pada posisi seimbang
(equilibrium), untuk kemudian ia akan dihadapkan pada perolehan pengalaman
baru.
Pandangan
piaget tentang bagaimana pengetahuan itu terbentuk dalam struktur kognitif
anak, sangat berpengaruh terhadap beberapa model pembelajaran diantaranya model
pembelajaran konstektual. Menurut pembelajaran konstektual, pengetahuan itu
akan bermakna jika ditemukan dan dibangun sendiri oleh siswa. Pengetahuan yang
diperoleh dari hasil pemberitahuan orang lain, tidak akan menjadi pengetahuan
yang bermakna. Pengetahuan yang demikian akan mudah dilupakan dan tidak
fungsional.
B.
Teori Belajar
Pengalaman / Fungsional
1.
Teori belajar
behavioristik
Menurut
aliran behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi
antara kesan yang ditangkap oleh panca indra dengan kecenderungan untuk
bertindak atau hubungan antara stimulus dan respon. Teori ini juga dinamakan teori
stimulus respon.
Teori-teori
belajar yang termasuk ke dalam kelompok behaviorism sebagai berikut:
·
Koneksionisme
dengan tokohnya Thorndike.
·
Classical
conditioning, dengan tokohnya Pavlop.
·
Operant
conditioning, yang dikembangkan oleh Skinner.
·
Systematic
behavior, yang dikembangkan oleh Hull.
·
Contiguous
conditioning, yang dikembangkan oleh Guthrie.
2.
Teori belajar
connectionism asosiasi
Teori
koneksionisme (connectionism) adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh
Edward L. Thorndike berdasarkan eksperimen yang dia lakukan pada tahun 1890-an.
Eksperimen Thorndike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk
mengetahui fenomena belajar. Dalam teori koneksionisme ini Thorndike
mengemukakan hukum-hukum belajar sebagai berikut :
·
Hukum kesiapan
(law of readiness)
Menurut
hukum ini, Apabila ada kesiapan dalam diri individu maka hubungan antara
stimulus dan respons akan mudah terbentuk. Tiga inti dari hukum ini adalah,
pertama, jika pada seseorang terdapat kesiapan untuk bertindak atau merespons,
maka respons atau tindakan yang dilakukannya akan menghasilkan kepuasan, dan
mengakibatkan individu akan melakukan tindakan tersebut tanpa melakukan
tindakan-tindakan lainnya. Kedua, jika seseorang memiliki kesiapan untuk
merespons namun tidak dilakukan olehnya, maka hanya akan menghasilkan
ketidakpuasan dalam dirinya, kemudian ia akan melakukan tindakan-tindakan lain.
Ketiga, jika seseorang tidak memiliki kesiapan untuk merespons, maka respons
yang diberikan tidak akan mengakibatkan ketidakpuasan.
Implikasi
dari hukum ini dalam pembelajaran yaitu ada atau tidaknya kesiapan belajar
seseorang individu sangat menentukan keberhasilan belajar seseorang.
·
Hukum latihan
(Law of exercise)
Kuat dan lemahnya hubungan stimulus dan respon dijelaskan dalam
hukum ini. Latihan yang menjadi perangsang agar hubungan atau koneksi antara
kondisi dengan tindakan akan menjadi lebih kuat, namun ketika tidak pernah
latihan yang diulang maka hubungan atau koneksi antara kondisi dengan tindakan
akan semakin lemah.
Implikasinya adalah jika semakin sering anak mengulang suatu
peljaran maka akan semakin cepat pelajaran tersebut dikuasai oleh anak itu.
·
Hukum akibat
(Law of effect)
Hubungan stimulus dan respons akan menjadi kuat ataupun lemah
tergantung kepada akibat yang ditimbulkannya. Apabila respons menyenangkan maka
respons tersebut akan di ulang, namun jika respons mengakibatkan hal yang tidak
mengenakan maka respons tidak akan diulangi lagi.
Implikasi dari hukum akibat ini adalah jika seseorang mengharapkan
orang lain dapat mengulangi respons yang sama, maka harus diusahakan
menyenangkan bagi dirinya. Namun jika kita mengharapkan seseorang untuk tidak
mengulangi respons yang diberikan, maka harus diberi sesuatu yang tidak
meyenangkan.
3.
Teori belajar
conditioning
·
Teori belajar
classical conditioning
Belajar merupakan pembentukan prilaku yang perlu dibantu dengan
kondisi tertentu. Tokoh dari teori ini adalah Pavlov dan Watson. Mereka percaya
bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama pada manusia.
Dalam percobaannya Pavlov menggunakan seekor anjing. Ia ingin
membentuk tingkah laku tertentu pada seekor anjing tersebut. Saat keadaan
lapar, sebelum anjing diberikan makanan dibunyikan lonceng lalu diperlihatkan
makanan, respons dari anjing tersebut adalah air liur anjing keluar dari
mulutnya dengan keadaan yang diulang-ulang. Setelah beberapa kali hal ini
dilakukan, ternyata setiap kali lonceng berbunyi air liur anjing selalu keluar
walaupun anjing tersebut tidak diberikan makanan. Dari semua itu anjing belajar
bahwa setiap kali lonceng berbunyi pasti ada makanan sehingga air liur keluar
dari mulutnya.
Kesimpulan yang dapat diambil
dari eksperimen ini bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu harus dilakukan
secara berulang-ulang dengan melakukan pengkondisian tertentu.
·
Teori belajar
operant conditioning
Teori
operant conditioning atau teori pembiasaan perilaku respons merupakan teori
belajar yang masih sangat berpengaruh di kalangan para ahli psikologi belajar
masa kini. Teori ini diciptakan oleh Burrhus Frederic Skinner yang memiliki
tema pokok dalam karya-karyanya yaitu bahwa tingkah laku terbentuk oleh
konsekuesi- konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri.
Skinner
membedakan dua macam respons, yitu repondent response dan operant response.
Respondent respons adalah response yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang
tertentu. Misalnya perangsang stimulus makanan yang menimbulkan keluarnya air
liur. Respons tersebut relatif tetap. Jika setiap ada stimulus maka akan muncul
respons tertentu. Hal tersebut berarti perangsang-perangsang selalu mendahului
respons yang ditimbulkannya.
Sedangkan
operant response adalah respons yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh
perangsang-perangsang tertentu. Perangsangnya disebut dengan reinforcer, karena
perangsang tersebut memperkuat response yang telah dilakukan orgnisme. Misalnya
seorang anak yang belajar untuk melakukan sesuatu jika diberikan reinforcer
untuk merangsang seperti ia akan mendapat hadiah, maka ia akan menjadi lebih
giat dalam belajar.
Salah
satu eksperimennya, skinner menggunakan seekor tikus yang dimasukkan dalam
sebuah peti dikenal dengan nama “skinner Box”. Peti tersebut terdiri dari dua
macam komponen pokok, yaitu manipulandum dan alat pemberi reinforcement yang
berupa wadah untuk makanan. Manipulandum berupa komponen yang dapat
dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan reinforcement. Komponen
manipulandum terdiri dari tombol, batang
jeruji, dan pengungkit (Reber, 1988).
Dalam
eksperimen, mula-mula tikus lari-lari didalam peti, mencium benda-benda yang
ada disekitarnya, mencakar dinding dan sebagainya. Hal ini disebut dengan
emitted behavior (tingkah laku yang terpancar). Kemudian secara kebetulan salah
satu emitted behavior seperti cakaran kaki dapat menekan pengungkit. Tekanan
pengungkit ini mengakibatkan munculnya butir-butir makanan ke dalam wadahnya.
Butir-butir makanan yang muncul merupakan reinforcer bagi penekanan pengungkit.
Eksperimen ini mirip sekali dengan
tingkah laku belajar menurut Thorndike yang selalu menghasilkan
satisfaction (kepuasan), sedangkan menurut Skinner, fenomena ini selalu
menghasilkan reinforcement (penguatan).
Teori-teori
belajar hasil eksperimen Thorndik, Skinner, dan pavlov diatas secara prinsipal
bersifat behavioristik yang lebih menekankan timbulnya perilaku jasmaniah yang
nyata dan dapat diukur.
Tabel
Perbedaan Aliran Behavioristik Dan Kognitif
TEORI
BELAJAR BEHAVIORISTIK
|
TEORI
BELAJAR KOGNITIF
|
1.
Menekankan pengaruh lingkungan
2.
Mementingkan bagian-bagian
3.
Mengutamakan peranan reaksi
4.
Hasil belajar terbentuk secara
mekanis
5.
Dipengaruhi oleh pengalaman masa
lalu
6.
Mementingkan pembentukan kebiasaan
7.
Memecahakan masalah dilakukan
dengan cara “trial and error”
|
1.
Mementingkan apa yang ada dalam
diri
2.
Mementingkan keseluruhan
3.
Mengutamakan fungsi kognitif
4.
Terjadi keseimbangan dalam diri
5.
Tergantung pada kondisi saat ini
6.
Mementingkan terbentuknya struktur
kognitif
7.
Memecahkan masalah didasarkan
kepada insight
|
C.
Teori Belajar
Humanism
1.
Teori belajar
berbasis multiple intelegences (Gardner)
2.
Teori belajar
meaningful learning (Ausubel, Carl Roger)
3.
Teori kebutuhan
(Maslow)
4.
Teori belajar
metakognisi
D.
Teori Belajar
Sosial Bandura dan Vigotsky serta pembelajaran cooperative dan ellaborative
Tidak ada komentar:
Posting Komentar